PERKEMBANGAN RANCANGAN ROMO MANGUN (1984-2008) PADA PEMUKIMAN KALI CODE
Perkampungan
Code memiliki ciri khas sebagai perkampungan yang berhasil membangun
harmoni dengan lingkungan sekitarnya. Rumah-rumah yang berdiri di
kawasan ini berderet dengan penataan arsitektural yang bagus,
warna-warni yang cerah, lingkungannya tertata dengan baik, menggambarkan
perencanaan dan kematangan pengelola dan masyarakatnya.
Tahun
1984 Kampung Code Utara dihuni 35 keluarga. Penghuni kampung ini terus
bertambah dan tahun 2007 dihuni 54 keluarga yang meliputi 186 jiwa.
Dulu kampung ini kumuh dan suram. Warga kampung yang rata-rata bekerja
sebagai pemulung membangun rumah asal-asalan dari kardus dan plastik
bekas.
Menurut
warga yang tinggal di bawah jembatan Gondolayu sejak tahun 1969
menjelaskan, status "kepemilikan" tanah di daerah ini mirip dengan
status tanah sepanjang Kali Code yang bersifat digeser alias tidak ada
yang memiliki sertifikat. Jikapun ada yang memiliki izin resmi bisa
dihitung dengan jari.
Modernisasi
kota menyebakan lingkungan pemukiman pra sejahtera tidak tertata dengan
baik karena tidak mendapat dukungan pemerintah dari luar serta tidak
dapat mengembangkan diri.
Keputusan
pembangunan ruang perkotaan pun kemudian tidak lagi berada di tangan
pemerintah, tetapi di tangan pemilik modal. Pemerintah kota atas nama
hukum telah menjadi pembela para pemilik modal karena mereka adalah
mesin pencetak pendapatan asli daerah. Akibatnya sangat fatal.
Benturan-benturan budaya pun tidak terelakkan. Tidak adanya respek
terhadap ruang publik dan menegasikan hak-hak warga kota lainnya sering
terjadi. Jalur pedestrian seringkali diambilalih oleh pedagang kakilima,
diintervensi oleh sepeda motor, atau diokupasi sebagai pangkalan ojek.
Perkampungan-perkampungan
kota pun seringkali memiliki tata hukum dan nilai sosial sendiri. Hidup
membangun rumah di tanah-tanah tidak bersertifikat menjadi hal yang
lazim. Akibatnya kelas menengah bawah tidak punya pilihan lain kecuali
mundur ke pinggiran kota dengan beban ongkos transportasi yang mahal
atau berjejal-jejal di hunian perkampungan kota yang kurang manusiawi di
tengah kota.
Strata
identitas ini mudah terbaca dari lokasi dan lingkungan tempat mereka
tinggal. Kaum miskin kota umumnya tinggal di tempat kumuh dan sumpek,
sementara kaum berpunya tinggal di lokasi mahal dan umumnya berdensitas
rendah.
Kawasan
tak tertata terus bermunculan karena hanya warga yang memiliki bukti
kepemilikan berhak atas rumah susun di kawasan itu. Penyebab lain
terkait dengan kebijakan ekonomi makro yang menciptakan pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi hanya di kota besar, khususnya Jakarta, yang sampai
saat ini masih memegang porsi terbesar (65 persen lebih) dalam peredaran
uang di Indonesia. Migrasi penduduk ke kota besar untuk mencari
penghidupan tak terelakkan.
Melihat
permasalahan kota-kota besar di Indonesia yang begitu mendasar dan
kompleks, dibutuhkan strategi-strategi khusus dan unik untuk menghadapi
isu-isu perkotaaan di atas.
Kampung
di kali Code yang menjadi lebih manusiawi dan kreatif melalui desain
dan pendampingan oleh tim Romo Mangun (alm) juga bisa menjadi contoh
bagaimana desain dapat menyentuh ruang-ruang marjinal secara spasial
yang bukan tidak mungkin akan mempengaruhi pada perbaikan kondisi
sosio-kultural.
Pra Rancangan
Keterbatasan
lahan tempat tinggal serta lajunya pembangunan kota menyebabkan
masyarakat pemukiman kali Code tidak dapat mengikuti arus perkembangan
kota.
Pada
mulanya, pemukiman Kali Code sendiri tidak pernah menjadi hunian yang
mengundang perhatian sebagaimana realita sekarang. Dulu tanah di bawah
jembatan Gondolayu ini tidak bertuan. Masyarakat urban yang belum
mempunyai tempat hunian kemudian memanfaatkannya sebagai tempat tinggal
dengan bangunan seadannya. Orang sering menyebutnya sebagai masyarakat
pinggir kali, yang disingkat menjadi Girli.
Kondisi
struktur dan infrastruktur sosial komonitas Girli sangat mengenaskan,
terlebih londisi perekonomian mereka yang merupakan penyebab dari sekian
ironi masyarakit miskin kota. Dengan bangunan yang terbuat dari kardus
dan triplek, rumah Girli amat rentan terhadap banjir yang bisa mengancam
tiap musim hujan datang. Tapi apa boleh buat, tanpa pilihan mereka
tetap menjadikan kawasan kumuh tersebut sebagai tempat hunian setelah
mereka lelah bekerja seharian. Kondisi moral akibat keterdesakan ekonomi
juga tak kalah mengenaskan.
Kondisi
sosial itulah yang kemudian mengundang perhatian seorang pastor,
arsitek, dan penulis. Dia adalah YB Mangunwijaya, seorang arsitektur
jebolan Aachen, Jerman. Sebagai arsitek secara suka rela dia membangun
pemukiman pinggir kali agar layak untuk ditempati dan tidak mudah
menjadi korban banjir. Maka dibangunlah pemukiman sederhana tapi
artistik dan kokoh di tepi sungai Code di bawah jembatan Gondolayu.
Hasil dari karya Romo Mangun itu ternyata memukau publik. Bahwa bangunan
rumah yang sederhana dan hanya terbuat dari kayu dan bambu, ternyata
membawa keindahan tersendiri.
Beberapa
warga kampung Girli Code itu berprofesi mulai dari penjual koran,
pengamen, atau penarik becak. Bahkan menjadi perampok dan pekerja seks
komersial merupakan pilihan yang mereka jalani demi menyambung hidup. Di
bawah dekade 80-an kondisi masyarakat Kali Code sama sekali bukan daya
tarik. Jangankan bisa dibanggakan, bertahan dari penggusuran saja
merupakan prestasi yang menggembirakan bagi mereka.
Dengan
bergotong-royong pembangunan perkampungan Kali Code dimulai. Warga
dibantu sejumlah tukang kayu khusus. Namun sebelumnya warga berkumpul
dan berdiskusi dengan Romo Mangun serta beberapa pegiat sosial.
Keinginan warga dirundingkan, termasuk bentuk bangunan yang diinginkan.
Ternyata semua warga sepakat mengubah bangunannya.
Selain
mengubah fisik kampung, perlahan Romo Mangun juga mengubah mental
warga. Warga yang semula berprofesi sebagai pemulung kini rata-rata
bekerja sebagai pedagang, tukang parkir, dan karyawan toko. "Dulu
rata-rata semua pemulung atau pengamen. Kami rata-rata sudah di sini
sejak tahun 70 atau 80-an. Perubahan ini karena didikan Romo Mangun.
Tahun
1984 Kampung Code dihuni 35 keluarga. Penghuni kampung ini terus
bertambah, dan tahun 2007 dihuni 54 keluarga yang meliputi 186 jiwa.
Yang pasti, martabat kampung hunian ini telah diangkat dari pemukiman
yang lekat dengan stigma kumuh, kotor, terpencil, dan mengganggu,
menjadi kampung berperadaban, bermartabat, dan bernilai, terbukti dengan
penghargaan yang diterimanya. Dan yang lebih penting dari semua itu,
masyarakat perkampungan Code tidak lagi menghadapi ancaman penggusuran
ataupun penertiban dari pihak Pemkot.
Kampung
Code merupakan contoh keberhasilan proyek alternatif pembangunan tempat
hunian wong cilik. Kampung sederhana ini tertata apik dengan berbagai
fasilitas yang juga terbilang unik seperti tempat bermain, aula untuk
pertemun warga,WC umum, rumah susun yang sehat, dan balai warga. Usaha
itu akhirnya berhasil mengantar lelaki kelahiran Ambarawa, Jawa Tengah,
menerima penghargaaan The Aga Khan Award (1992). Tak hanya itu, Kali
Code juga meraih The Ruth and Ralp Erukine Fellowship (1995), sebagai
bukti keberpihakan Romo Mangun kepada wong cilik.
Perilaku
masyarakat terhadap lingkungan tergantung dari penataan bangunan. Hal
ini dilatarbelakangi oleh tingkat pengetahuan masyarakat terhadap
penataan lingkungan. Hal ini dibuktikan dengan perilaku masyarakat
pemukiman Kali Code sebelum dan sesudah rancangan Romo mangun. Terjadi
perubahan perilaku positif dari segi drainase, sanitasi, penanggulangan
sampah, derajat kesehatan maupun kehidupan sosiokultur masyarakat.
Masyarkat Kali Code diwarisi perilaku hidup sehat dimana kebersihan
menjadi hal yang sangat penting mengingat lokasi pemukiman mereka yang
dekat dengan sungai. Lingkungan yang bersih ini secara otomatis
memberikan efek psikologis terhadap masyarakat agar tetap dan terus
menjaga perilaku hidu sehat.
Dengan
demikian, kampung Code telah menjadi sebuah miniatur dari peradaban
yang berbasis kepada arti penting local wisdom, yang diperlopori oleh
seorang local jenius yang gigih. Hal ini dimungkinkan karena Romo Mangun
tidak hanya mengubah desain arsitektur fisik perkampungan itu hingga
kemudian terlihat lebih tertata, akan tetapi dia juga mendorong
terciptanya perubahan sosial (sosial engineering) dengan cara
mensolusikan dan memberdayakan perekonomian mereka. Dengan kata lain,
sebagai arsitek, dia tidak hanya piawai menata interior dan eksterior
sebuah bangunan, akan tetapi mental, moral, dan kepercayaan diri
masyarakat Kali Code juga menjadi proyek garapan Romo Mangun.
Melalui
perkampungan kali Code, Romo Mangun telah mewariskan kepada sekelompok
masyarakat pola hidup dan desain ruang yang baru, kaya akan nilai seni
arsitektur, yang bersumber dari kekuatan budaya dan kearifan lokal.
Selain itu, lewat kampung itu pula Romo telah memberikan solusi bagi
pemerintah dan warga Jogja, khususnya, dan bagi masyarakat berbudaya
secara umum.
Diharapkan
penataan kembali pemukiman di Code oleh Romo mangun dapat
menginsipirasi pelaku pembanguan agar dalam melakukan pembangunan dapat
memperhatikan kepentingan masyarakat bawah.
Sumber : http://nicojaya.blogspot.co.id/2012/02/perkembangan-rancangan-romo-mangun-1984.html